Kekerasan dan pergaulan
bebas menjadi potret buram kehidupan remaja saat ini. tawuran antarpelajar,
seks bebas, hamil di luar nikah, aborsi, perkosaan, pelecehan seksual dan
peredaran VCD porno, narkoba dan HIV/AIDS menjadi perkara yang lumrah di
kalangan remaja saat ini. Padahal remaja merupakan generasi penerus yang akan
menerima tongkat estafet kebangkitan umat.
Kapiltalisme: Biang Kerok
Sederet potret buram
remaja menjadi bukti kegagalan sistem Kapitalisme yang diterapkan, di antaranya
melalui sistem pendidikan generasi saat ini. Sistem pendidikan sekular kapitalis
telah menyita sebagian besar waktu dan tenaga siswa untuk mengabaikan aspek
pembentukan kepribadian yang kuat. Sekolah sebagai institusi pendidikan
alih-alih mencetak remaja yang berkualitas yang memiliki kepribadian yang kuat
sesuai dengan tujuan pendidikan, namun justru menghasilkan remaja yang
menciptakan banyak masalah. Sekolah yang baik seharusnya mampu membentuk
kepribadian yang baik. Sebaliknya, sekolah yang buruk adalah yang abai
terhadap hal-hal tersebut. Inilah realita yang terjadi kini.
Sebenarnya Pemerintah
telah menetapkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia
yang beriman dan bertakwa serta berkembangnya potensi diri secara optimal.
Tentu, ini adalah sebuah tujuan yang sangat ideal, dan memang itulah yang
diharapkan dari sebuah proses pendidikan. Pendidikan harus melahirkan sosok
manusia yang mempunyai kepribadian khas yang muncul dari keimanan dan ketawaan
yang tinggi serta memiliki kemampuan berbasis kompetensi yang akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan diarahkan untuk menempa
kepribadian siswa yang kuat dan mengembangkan potensi keterampilan secara
optimal.
Hanya saja, apabila
kita menengok realita kehidupan para pelajar saat ini, tujuan ini terasa sangat
klise. Kalangan remaja sebagai output pendidikan
saat ini jauh dari sosok manusiamuttaqin dalam makna hakikinya. Kini, alih-alih ada rasa bangga
bila bertemu dengan gerombolan remaja berseragam sekolah, yang ada adalah rasa
was-was, khawatir menjadi korban tingkah polahnya yang buruk, bak preman
jalanan.
Dengan kurikulum
sekular kapitalistik, para pelajar kian terbentuk menjadi pribadi yang kering
jiwanya, keras mentalnya, bahkan jumud dari mencari solusi berbagai persoalan
yang menimpanya. Kata iman dan takwa tidak lebih dari lips service. Kata ‘iman’ dan ‘takwa’ tidak
mewujud dalam kenyataan. Padahal sejatinya, apabila strategi pendidikan
seiring dengan tujuannya, maka akan dihasilkan target optimal, yaitu
terbentuknya sosok generasi ideal. Namun, fakta menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara konsep dan metode pelaksanaannya.
Dalam Undang-Undang
Sisdiknas No. 20 tahun 2003, nilai-nilai demokrasi dan HAM menjadi acuan dalam
proses pendidikan sehingga proses pembelajaran mengacu pada target
tercapainya nilai-nilai tersebut. Inilah fakta yang menunjukkan ada
ketidaksesuaian antara visi dan misi pendidikan. Visinya menjadi insan mu’min dan muttaqin, namun misinya melalui penanaman nilai HAM dan
demokratisasi. Akankah misi ini dapat mewujudkan visi pendidikan? Ataukah
memang visi pendidikan nasional sudah mengalami disorientasi? Bila benar,
tentu tidak salah jika kita mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional yang
dicanangkan tersebut hanyalah lips service saja.
Bila memang yang
diinginkan adalah terbentuknya insan yang mu’min-muttaqin, relevankah
bila ditempuh dengan cara memberikan pelajaran agama yang hanya dua jam
pelajaran saja dalam satu minggu (2 jam dari 40 jam, hanya 5% dari pelajaran
lainnya). Itu pun jika harinya tidak libur dan gurunya tidak bolos. Lebih dari
itu penyampaian pelajaran lebih bersifat teoretis, kurang sisi implementatif,
ditambah sarana praktik pendidikan agama yang sangat minim. Karena itu, wajar
jika kemudian para pelajar memposisikan pelajaran agama tidaklah berbeda dengan
pelajaran lainnya, yang hanya untuk dihapal karena akan keluar di soal ujian.
Belum lagi berbicara
tentang kualitas guru. Sistem Kapitalisme, selain membebani guru dengan
setumpuk bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa, mereka juga
dipusingkan dengan beban hidup yang kian menghimpit, seiring dengan penghargaan
Pemerintah yang jauh dari nilai layak bagi insan pendidik ini. Walhasil, proses
belajar mengajar hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban saja, tidak lebih dari
itu. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan metode ajar yang hanya mengedepankan
transformasi ilmu saja dan mengabaikan transformasi perilaku positif yang
menjadi suri teladan. Lihat saja banyak berita tentang bagaimana perilaku
guru yang tidak memberikan contoh perilaku yang baik. Kasus guru yang berbuat
kasar dengan membentak, menempeleng, atau menendang terhadap muridnya adalah
contoh betapa wajar jika para siswa berulah anarkis, karena gurunya pun
mengajarkan perilaku seperti itu.
Tidak dipungkiri pula
bahwa dalam kurikulum pendidikan yang sekular kapitalistik ini, untuk membentuk
sosok pelajar yang mu’min-muttaqin hanya
bertumpu pada materi agama. Adapun pada pelajaran lain, tidak ada penanaman
nilai kepribadian untuk menjadi mu’min-muttaqin.
Mengapa demikian? Karena sistem pendidikan nasional kita tidak berbasis agama.
Agama ditempatkan jauh dari urusan pendidikan. Pendidikan di negeri ini
menganut paham pemisahan agama dari pengaturan urusan masyarakat
(sekular). Akibatnya, terjadi dikotomi antara pelajaran agama dan
pelajaran umum lainnya. Pelajaran umum (non agama) berada di wilayah yang
‘bebas nilai’, yang sama sekali tidak tersentuh standar nilai agama.
Kalau pun ada hanyalah etik-moral yang tidak bersandar pada nilai agama.
Karena itu, wajar bila pembentukan kepribadian hanya dibebankan pada pelajaran
agama saja.
Lemahnya Peran Keluarga
Kehidupan kapitalistik
yang berlaku saat ini tidak hanya menjadi pangkal persoalan pendidikan di
sekolah. Keluarga pun terkena imbasnya. Keluarga adalah basis pendidikan yang
utama bagi setiap insan. Namun, sistem Kapitalisme telah memaksa para orangtua
abai dalam proses pendidikan anak-anaknya. Kapitalisme telah menyebabkan beban
hidup setiap keluarga terus mencekik. Keluarga pun harus memutar otak mencari
penghidupan. Dengan dalih mencapai penghidupan yang layak inilah, ayah
dan ibu sibuk bekerja siang dan malam. Akibatnya, anak pun terabaikan.
Para ibu sebagai
pendidik pertama dan utama bagi anaknya tidak sempat memberikan perhatian
dan kasih sayang yang paripurna. Bahkan untuk memberikan keteladanan
sehari-hari kepada anaknya pun tak ada waktu karena sibuk di luar rumah, turut
membantu suami mengepulkan asap dapur. Akhirnya, para ibu banyak yang tidak
lagi bisa memberikan arahan akan kehidupan yang harus dicapai anak-anaknya.
Begitupun dengan sosok ayah. Ia menjadi figur yang asing bagi
anak-anaknya. Tanggung jawabnya untuk menjaga keluarga dari siksa api
neraka sebagaimana perintah dari Allah SWT, jelas terabaikan. Sempitnya waktu
bersama anak membuat komunikasi menjadi hal yang sangat mahal dalam keluarga.
Anak pun terdidik dengan televisi, internet, HP dan media eletronik
lainya. Padahal dari media-media tersebutlah anak mendapatkan pengaruh buruk
tentang pergaulan bebas, hidup konsumtif, kekerasan dan aktivitas kriminal
lainnya. Anak tidak mengenal kasih sayang sejati dalam rumahnya. Perhatian
justru didapat dari teman, geng, bahkan komunitas lain di jalanan.
Solusi Tuntas
Potret buram remaja
sebenarnya dapat dituntaskan dengan memperbaiki sistem hidup yang mempengaruhi
pemahaman dan perilaku remaja. Untuk itu dibutuhkan peran dari berbagai
unsur: sekolah, keluarga, masyarakat dan negara. Keseluruhannya bertanggung
jawab dalam membentuk kepribadian yang baik pada remaja, kepribadian yang
dibangun di atas iman dan takwa. Semuanya harus bersinergis untuk
mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan remaja.
Keluarga merupakan
institusi pertama dan utama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap
anak (generasi). Di sanalah pertama kali dasar-dasar keislaman ditanamkan. Anak
dibimbing orangtuanya bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya
mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT.
Rasulullah saw. pernah
bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-islami). Ayah dan
ibunyalah kelak yang menjadikan dirinya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah
api dan berhala) (HR al-Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Orangtua wajib mendidik
anak-anaknya tentang perilaku dan budi pekerti yang benar sesuai dengan ajaran
Islam. Bagaimana anak diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap
sopan-santun, kasih-sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan
untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih
barang halal yang akan mereka gunakan. Dengan begitu, kelak terbentuk pribadi
anak yang shalih dan terikat dengan aturan Islam.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ
غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah
para malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah atas apa yang
Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan (QS at-Tahrim [66]: 6).
Masyarakat—yang menjadi
lingkungan remaja menjalani aktivitas sosialnya—mempunyai peran yang besar juga
dalam mempengaruhi baik-buruknya proses pendidikan, karena remaja merupakan
satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan
ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan
remaja. Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran
dan perasaan yang sama, serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama,
tatkala masing-masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan generasi muda, maka semua orang akan sepakat memandang
mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa
pengaruh negatif bagi pendidikan generasi. Perkara yang akan membentuk pengaruh
negatif pada remaja tentu akan dicegah bersama. Jika ada sekelompok remaja
terbiasa nongkrong dengan kegiatan yang tidak karuan, masyarakat setempat
seharusnya bertindak membersihkan lingkungan dengan mengajak kelompok remaja
tersebut mengalihkan kegiatan dengan hal yang lebih bermanfaat. Di sinilah
peran penting masyarakat sebagai kontrol sosial.
Peran paling penting
dan strategis dalam membentuk kepribadian remaja ada pada negara melalui
pemberlakuan sistem pendidikan. Secara paradigmatik, pendidikan harus
dikembalikan pada asas akidah Islam yang akan menjadi dasar penentuan arah dan
tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan
serta proses belajar-mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta
budaya sekolah/kampus tempat remaja eksis di dalamnya.
Paradigma pendidikan
yang berasas akidah Islam harus berlangsung secara berkesinam-bungan
mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi yang pada ujungnya nanti diharapkan
mampu menghasilkan keluaran (output) peserta
didik yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah
islamiyyah), menguasai tsaqafah Islam
dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian).
Negara sebagai
penyelenggara pendidikan yang utama haruslah menerapkan kurikulum yang menjamin
tercapainya generasi berkualitas. Bukan hanya generasi yang mengejar kemajuan
teknologi, tetapi juga membentuk kepribadian Islamnya. Negara juga wajib
mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan secara layak. Atas
dasar inilah negara wajib memiliki visi pendidikan yang fokus pada pembentukan
generasi berkualitas dan menyediakan pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya.
Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang sebesar-besarnya
bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan. Dengan itu pendidikan
tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi
dijadikan ajang bisnis yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri.
Negara wajib
menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka ini haruslah yang
memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi
dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara-cara yang harus dilakukan.
Mereka harus menjadi teladan bagi anak didiknya. Kelemahan sifat pada pendidik
berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi. Seorang guru tidak hanya
menjadi penyampai ilmu pada muridnya, tetapi juga seorang pendidik dan pembina
generasi. Agar para pendidik bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja
negara harus menjamin kehidupan materi mereka.
Lebih dari itu, negara
juga wajib mengontrol dan menindak tegas hal-hal yang bisa merusak generasi,
terutama media yang memberi pengaruh buruk dalam pendidikan dan pembinaan anak.
Peran negara yang
seperti ini tentu tidak akan terwujud dalam tatanan sistem yang kapitalis.
Hanya negara yang menerapkan Islam secara kaffah-lah
yang mampu melaksanakan peran strategis ini. Oleh karena itu, berharap
menghapus potret buram remaja dalam tatanan sistem kapitalis saat ini hanyalah
mimpi di siang bolong. Karena itu, sudah saatnya mencetak potret cemerlang
remaja dan generasi ini dengan tatanan terbaik dari Sang Maha Pencipta, Allah
SWT. Hanya tatanan Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah-lah yang mampu
menghapus potret buram remaja dan generasi ini menjadi potret cemerlang dan
gemilang.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Dede Tisna;
Ketua Lajnah Dakwah Sekolah (LDS DPP HTI)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar