Kamis, 31 Januari 2013

golongan yang Meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam


golongan yang Meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari. sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau .
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu ‘alaihi wasallamadalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10). dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu ‘alaihi wasallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien. adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. Golongan yang Berlebih-lebihan (Ghuluw)
Yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kitashallallahu ‘alaihi wasallam.Mereka tidak mengindahkan larangan Allah k dan larangan Rasulnya.
“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” (an-Nisa: 171) لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
اياكم باغلوّ في ا الدين فإنماهلكمن قبلكم بغلوّ في الدّين 
“Jauhilah sikap berlebih-lebihan,karena yg telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan”
Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi adalah melampaui batas dalam menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajat sebagai hamba dan Rasul Allah, menisbatkan kepadanya sebahagian dan sifat-sifat ilahiyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ubudiyah kepada selain Allah.Dan yang dimaksudkan dengan ithra dalam hak Nabi beliau telah melarang hal tersebut dengan sabdanya, “Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa,) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.” (Muttafaq ‘alaih).
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara batil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Nashrani terhadap Isa‘alaihissalam, sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat ilahiyah. Dengan itu, sifatilah aku sebagaimana Rabbku memberi sifat kepadaku. Maka katakanlah, hamba Allah dan Rasul-Nya.Ketika sebagian sahabat berkata kepada beliau, ‘Engkau adalah sayyid (penghulu) kami!” Spontan Nabi menjawab, “Sayyid (penghulu) kita adalah Allah subhanahu wa ta’ala.” (Hadis Riwayat Abu Daud)Demikian pula ketika mereka mengatakan, “Dan engkau adalah orang yang palirg utama dan paling agung kebaikannya!” Serta merta beliau mengatakan,“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa kalian katakan, atau seperti ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaifan.” (Hadis Riwayat Abu Daud dengan sanad jayyid).
Sebagian orang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid (penghulu) kami dan putera penghulu kami!” Maka seketika Nabi bersabda,“Wahai manusia, ucapkanlah dengan ucapan (yang biasa) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh setan! Aku (tak lebih) adalah Muhammad bin Abdullah, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak menyukai kalian menyanjungku di atas darjat yang Allah berikan kepadaku.” (Hadis Riwayat Ahmad dan an-Nasa’i). Beliau membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti, ‘Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.’ Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak.
Meskipun demikian, beliau melarang mereka dan agar mereka menjauhkan diri dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan darjat paling tiriggi bagi hamba, di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan akidah. Dua sifat itu adalah Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan Rasul-Nya). Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak suka disanjung lebih dari apa yang Allah berikan dan Allah ridhai.
Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tersebut, sehingga mereka berdoa kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. hal itu sebagaimana dilakukan ketika peringatan maulid Nabi dalam qasidah atau nasyid (nyanyian-nyanyian, di mana mereka tidak membezakan antara hak Allah dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Allamah Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kasidah nuniyahnya berkata,“Allah inemiliki hak yang tidak dimiliki oleh selain-Nya dan bagi hamba juga ada haknya, ia adalah dua hak (yang berbeda). Maka jangan jadikan dua hak itu sebagai satu hak, tanpa memisahkan dan membezakannya.”
Diantara sikap berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ 
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering pula dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamadalah merayakan peringatan maulid Nabishallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau n? Apakah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it-Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.
Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam., kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, hal: 5).
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga risalah singkat ini dapat memberikan manfaat bagi kita di dunia dan akhirat, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita orang-orang yang terdepan di dalam mengikuti sunnah dan selalu istiqomah di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar