golongan
yang Meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Adalah
orang-orang yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah disebutkan di atas.
Di
antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan
meyakini kerasulan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallamshallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa
harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari. sudah cukup untuk merealisasikan cinta kepada Beliau .
Bahkan
di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang
ke-ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu
‘alaihi wasallamadalah tokoh historis yang harus dikaji
dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya),
sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental,
Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10). dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan wahyu,
sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh
koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad
Ada
juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus
“bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya baru, yang digelari Fikih Lintas
Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan
kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama.” (Fiqih
Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis Madjid dkk,
hal: ix).
Di
antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wasallamshallallahu
‘alaihi wasallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum,
amien. adalah ulah Koran Denmark
“Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan
memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah
Dan masih
banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya
kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam
merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak
dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf sebagai barometer dalam
mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
3. Golongan yang Berlebih-lebihan (Ghuluw)
Yaitu
mereka yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi
Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, hingga mereka mengada-adakan
amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak pernah dilakukan oleh salafush shalih yang
mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan
tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kitashallallahu ‘alaihi wasallam.Mereka tidak mengindahkan larangan Allah k dan
larangan Rasulnya.
“Janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu.” (an-Nisa: 171) لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
اياكم باغلوّ في ا الدين فإنماهلكمن قبلكم بغلوّ في الدّين
“Jauhilah sikap berlebih-lebihan,karena yg telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan”
“Jauhilah sikap berlebih-lebihan,karena yg telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan”
Dan
yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi adalah melampaui batas dalam
menyanjungnya, sehingga mengangkatnya di atas derajat sebagai hamba dan Rasul
Allah, menisbatkan kepadanya sebahagian dan sifat-sifat ilahiyah. Hal itu
misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, bersumpah dengan
nama beliau, sebagai bentuk ubudiyah kepada selain Allah.Dan yang dimaksudkan
dengan ithra dalam hak Nabi beliau telah melarang hal tersebut dengan sabdanya,
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani
telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa,) putera Maryam. Aku hanyalah seorang
hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.”
(Muttafaq ‘alaih).
Dengan
kata lain, janganlah kalian memujiku secara batil dan janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh
orang-orang Nashrani terhadap Isa‘alaihissalam,
sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat ilahiyah. Dengan itu, sifatilah
aku sebagaimana Rabbku memberi sifat kepadaku. Maka katakanlah, hamba Allah dan
Rasul-Nya.Ketika sebagian sahabat berkata kepada beliau, ‘Engkau adalah sayyid
(penghulu) kami!” Spontan Nabi menjawab, “Sayyid (penghulu) kita adalah Allah subhanahu wa ta’ala.” (Hadis Riwayat Abu Daud)Demikian pula ketika mereka
mengatakan, “Dan engkau adalah orang yang palirg utama dan paling agung
kebaikannya!” Serta merta beliau mengatakan,“Katakanlah sesuai dengan apa yang
biasa kalian katakan, atau seperti ucapan kalian dan janganlah sampai kalian
terseret oleh syaifan.” (Hadis Riwayat Abu Daud dengan sanad jayyid).
Sebagian
orang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Wahai orang yang terbaik di
antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid
(penghulu) kami dan putera penghulu kami!” Maka seketika Nabi bersabda,“Wahai
manusia, ucapkanlah dengan ucapan (yang biasa) kalian ucapkan! Jangan kalian
terbujuk oleh setan! Aku (tak lebih) adalah Muhammad bin Abdullah, hamba Allah
dan Rasul-Nya. Aku tidak menyukai kalian menyanjungku di atas darjat yang Allah
berikan kepadaku.” (Hadis Riwayat Ahmad dan an-Nasa’i). Beliau membenci jika
orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti, ‘Engkau adalah
sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang
yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di
antara kami.’ Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan
paling mulia secara mutlak.
Meskipun
demikian, beliau melarang mereka dan agar mereka menjauhkan diri dari sikap
melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau, juga untuk
menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau mengarahkan mereka agar menyifati
beliau dengan dua sifat yang merupakan darjat paling tiriggi bagi hamba, di
dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan akidah. Dua sifat itu adalah
Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan Rasul-Nya). Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak suka disanjung lebih dari apa yang Allah
berikan dan Allah ridhai.
Tetapi
banyak manusia yang melanggar larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tersebut, sehingga mereka berdoa kepadanya, meminta
pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu
yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. hal itu sebagaimana dilakukan
ketika peringatan maulid Nabi dalam qasidah atau nasyid (nyanyian-nyanyian, di
mana mereka tidak membezakan antara hak Allah dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Allamah Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kasidah nuniyahnya berkata,“Allah inemiliki hak
yang tidak dimiliki oleh selain-Nya dan bagi hamba juga ada haknya, ia adalah
dua hak (yang berbeda). Maka jangan jadikan dua hak itu sebagai satu hak, tanpa
memisahkan dan membezakannya.”
Diantara
sikap berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, adalah menyifatinya dengan sifat-sifat yang
merupakan hak prerogatif Allah subhanahu
wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa
yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara
peringatan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam:
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ العَمِمِ …
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).
La
haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon
perlindungan hanya kepada Allah subhanahu
wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al
An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber
dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid
dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan
ilmu qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di
antara amalan yang sering pula dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan
rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallamadalah merayakan peringatan maulid Nabishallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul
semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya.
Bahkan ada yang merasa berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah
terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau n? Apakah para
sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah
seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it-Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa
pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang
telah dipuji oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan
Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta
bid’ah akan menjamur setelah masa mereka berlalu. Ditambah lagi merekalah
orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Merujuk
kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga
generasi awal umat ini, banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.
Lantas
siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali
dirayakan pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah
wafatnya Nabi Muhammadshallallahu
‘alaihi wasallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz
lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah
yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka
dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali, dan Kasyful
Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani). Sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama.
Apa
yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah
melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara
sendiri di Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin
di Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka
dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga pemerintah kerajaan itu (Bani
Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka
mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara
maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, ditambah dengan maulid-maulid lain
seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan
maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun
Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah
itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam., kemudian kebiasaan
itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan terhadap agama dan taqlid
buta.
Jadi,
sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis
untuk melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka
merealisasikan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid
an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad
al-Huqail, hal: 5).
Dan
perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidaklah diukur dengan merayakan hari kelahiran
beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari
kelahiran mereka semua, untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam
masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah
yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha untuk
mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam lainnya,
tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid.
Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun
dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan
cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah ini salah satu bentuk
ketidakadilan dalam bersikap?
Semoga
risalah singkat ini dapat memberikan manfaat bagi kita di dunia dan akhirat,
semoga Allah subhanahu
wa ta’ala menjadikan kita orang-orang yang terdepan
di dalam mengikuti sunnah dan selalu istiqomah di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar